INILAHTASIK.COM | Penataan di Kota Tasikmalaya menuai sorotan. Terutama dalam hal dekorasi fasilitas pertamanan. Pemerintah dipandang kurang serius atau asal-asalan dalam melaksanakan sejumlah kegiatan untuk menata daerah.
Kritikan muncul salah satunya dari Ketua Solidaritas Pemuda Tunas Tasikmalaya (Sipatutat), Irwan Supriadi (Iwok). Ia mengaku prihatin dengan kondisi beberapa bangunan tugu dan air mancur yang telah menelan anggaran miliaran rupiah tanpa menghasilkan sebuah kebanggaan bagi masyarakat.
Satu diantara sekian bangunan tugu yang disorotinya, yaitu Tugu Kelom Geulis. Irwan menilai keberadaan tugu tersebut bukan menjadi ikonik, malah mengganggu para pengendara yang melewatinya dikarenakan semburan air mancurnya mengarah ke jalan alias tak beraturan.
“Lebih pantasnya disebut air muncrat bukan air mancur, dan kalau saya lihat tugu itu mirip Burung Kuntul tidak menggambarkan Kelom Geulis. Kemudian bangunan yang berada di Bunderan Gobras itu baru saja diperbaiki oleh pihak dinas terkait,” katanya, Rabu (06/11/2019).
Dalam hal ini, ungkap ia, masyarakat sendiri sangat berharap banyak kepada pemerintah untuk melakukan penataan sesempurna mungkin, dan itu sudah menjadi keharusan.
Dengan demikian, pihaknya pun sangat menyayangkan adanya alokasi anggaran yang luar biasa besar hanya untuk pembangunan air mancur padahal muncrat karena tidak bisa dinikmati oleh masyarakat.
“Sementara, menghabiskan anggaran untuk RTLH saja hanya Rp 17.500.000. Artinya Pemkot Tasik kok lebih memikirkan pembangunan air mancur ketimbang memikirkan masyarakat kategori miskin. Inilah yang menjadi soal,” tegas Iwok.
Sehingga, Ia menilai wajar jika masyarakat menganggap bahwa pembuatan tugu tersebut menghambur-hamburkan biaya mengingat jumlahnya tidak sedikit. Kemudian, sambung ia, pembuatannya dijadikan ajang “bancakan” karena tugu-tugu yang ada di Kota Tasik terkesan asal-asalan dan main-main disamping terlihat lucu.
“Misal tugu yang di Jalan Yudanegara. Tugu batik seperti es krim. Lalu, di Simpang Lima, di Jalan Gobras. Belum lagi taman-taman kecil di setiap perempatan jalan, terkesan seperti taman anak-anak. Dengan payung-payung kecil ditambah kotak-kotak dari plastik fiber Paradoks!,” ujarnya.
Menurutnya, selain terkesan asal-asalan, pemerintah juga tidak sadar bahwa tugu dan taman adalah wajah atau make-up untuk sebuah kota agar kelihatan berwibawa.
“Ini malah sebaliknya, justru membuat kota kelihatan lucu. Tugu-tugu dan taman-taman di sebuah kota bukan lagi berbicara lokal, tapi nasional atau bahkan internasional sebagai representasi harga diri pemerintahan dimana tugu-tugu dan taman-taman itu berada secara menyeluruh, kebetulan kasus ini ada di Kota Tasikmalaya,” tambah ia.
Guna menyikapi hal ini, kata Irwan, pemerintah harus bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan di mata masyarakat, karena uang yang dipakai untuk tugu dan taman adalah uang rakyat.
“Meskipun sudah bosan untuk kesekian kalinya mengingatkan, ketika penguasa (Pejabat pengguna anggaran) berselingkuh dengan pedagang (Calo) dan atau “Broker” maka disitulah benih-benih kehancuran,” sebutnya.
Ia menegaskan bahwa sebuah kritikan terhadap karya apapun hasil dari sebuah kebijakan seharusnya dijadikan pemicu untuk kemajuan. “Cara pandang inilah pada saat sekarang tergerus dengan kepentingan pribadi dan golongan, lebih tepatnya kepentingan balas budi. Sehingga berdampak kepada karya di atas tadi. Pola berpikir dan pola tindak pragmatis inilah menjadi bumerang, terkebiri oleh kepentingan politis,” pungkas Iwok. (Tim)
Discussion about this post