INILAHTASIK.COM | Jika terbukti bedasarakan hasil pemeriksaan tim ahli bahwa bangunan TPT RS Purbaratu yang ambruk tidak ada pondasinya, maka menurut ketentuan peraturan yang berlaku, para pihak yang bertanggungjawab dalam proyek tersebut bisa dijerat pidana bukan hanya perdata.
Demikian ditegaskan Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sekaligus Praktisi Konstruksi Bangunan, Ir. H. Nanang Nurjamil, Senin (23/11/2020). Ia menjelaskan, ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Pasal 60 Ayat (1) UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
“Pihak perencana, pengawas dan pelaksanaan pekerjaan termasuk pemberi kerja (PPK) proyek RS Purbaratu wajib memperbaiki dan membayar ganti rugi kepada pihak-pihak yang telah dirugikan akibat kegagalan bangunan TPT tersebut,” terangnya.
Jika tidak melakukan perbaikan dan membayar ganti rugi, lanjut Nanang, maka ketiganya bisa dikenai denda dan pidana kurungan selama 1 sampai 3 tahun, tergantung besaran dampak dan kerugian yang ditimbulkan.
“Meskipun bangunan itu kini sedang diperbaiki, tidak serta merta mengugurkan hukum denda ganti rugi kepada pihak-pihak yang terkena dampak dan pidananya. Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak, agar kedepan pembangunan harus lebih memperhatikan aspek kualitas, sesuai spesifikasi yang direncanakan konsultan,” ungkapnya.
Ia berpesan, bagi konsultan pengawas harus benar-benar dalam mengawasai pekerjaan di lapangan. Kemudian, bagi pemberi kerja dan LPSE dalam hal ini instansi pemerintah supaya lebih selektif dalam memilih konsultan dan kontraktor pelaksana.
“Jangan hanya terpenuhi syarat di dokumen, lalu dia menjadi pemenang lelang. Lakukan juga klarifikasi faktual untuk membuktikan kesesuaian antara dokumen adminsitrasi yang disampaikan dalam penawaran dengan fakta di lapangan,” pungkasnya. (IR)
Discussion about this post