INILAHTASIK.COM | Setelah lama tak terdengar kiprahnya, keberadaan Rumah Potong Hewan (RPH) milik pemerintah Kota Tasikmalaya kembali jadi sorotan. Muncul kabar tak sedap seputar pengelolaan limbah yang tak dikelola secara benar, disebabkan alat pengolahan limbah yang tak berfungsi, dan lebih mirisnya lagi hasil limbah diduga dibuang ke sungai Citanduy, tepat berada di belakang RPH.
Selain itu, kabar lainnya disoal ketika ada kerusakan atas sarana prasarana RPH, proses perbaikannya kerap dibebankan kepada para pengguna jasa atau para pengusaha sapi yang biasa melakukan aktivitas penyembelihan di RPH milik pemkot tersebut.
Menurut salah satu narasumber menuturkan kondisi tersebut sudah berlangsung sejak lama, bahkan bisa dikatakan sejak awal berdirinya RPH. Akibat alat pengolahan limbah yang tidak berfungsi, limbah hasil penyembelihan hewan tak terkelola dengan baik seperti yang dibangga-banggakan pada awal peresmian RPH, bahwa limbahnya dikelola dengan baik, bisa digunakan kembali, dan layak konsumsi pula.
Namun, fakta yang sesungguhnya tidaklah semanis yang diungkapkan. Nyatanya limbah yang dihasilkan tak diolah secara maksimal, bahkan ironinya lagi, pengelola diduga berani membuang limbah tersebut ke sungai Citanduy, dan tidak menutup kemungkinan dapat mencemari lingkungan. Untuk instansi atau lembaga pemerintah, sudah selayaknya dapat menjadi contoh, dengan tidak membuang limbah sembarangan, meski limbah tersebut dikatakan aman.
Kemudian, hal lainnya adalah, ketika ada kerusakan atas sarana prasarana yang ada di RPH, proses perbaikannya kerap dibebankan kepada para pengguna jasa atau para pengusaha sapi yang biasa menyembelih hewan disana. Lalu, anggaran pemeliharaan setiap tahunnya digunakan untuk apa dan dikemanakan?
Sementara itu, Kepala UPTD RPH, Ahmad Ruhimat saat diminta tanggapannya belum lama ini tak menampik adanya kabar miring tersebut. Terkait alat pengolahan limbah sejenis blower atau mixer, ia menyebut lebih tepatnya bukan tidak berfungsi, hanya penggunaanya yang kurang maksimal. Hal itu dikarenakan biaya operasionalnya cukup lumayan besar. Sementara anggaran operasional yang diberikan pemkot jumlahnya tak seberapa, dan itu pun belum dipotong untuk menggaji petugas keamanan dan waker di RPH.
“Kondisi seperti ini, tak hanya dialami oleh kita saja, di daerah lain pun masalahnya hampir sama, karena beban biaya opersional yang cukup besar, sehingga penggunaan alat pengelohan limbah tersebut hanya digunakan pada saat aktivitas penyembelihaan saja,” terangnya.
Ia membenarkan berkenaan dengan limbah yang dibuang ke sungai Citanduy. Namun, pihaknya memastikan limbah yang dibuang tersebut layak buang, dan dipastikan tidak akan mencemari lingkungan, terlebih sudah dilakukan penelitian pula atas limbah yang dibuang ke sungai.
“Kalau pun toh limbah tersebut mencemari lingkungan, mungkin sudah sejak lama dikeluhkan oleh warga. Kemudian limbah yang dibuang merupakan limbah cair, sementara untuk limbah padatnya kita olah menjadi kompos,” ungkapnya.
Terkait kegiatan perbaikan sarana prasana yang dikatanya dibebankan ke pengguna atau para pengusaha sapi, tidak seperti itu pula. Seperti diketahui, kegiatan di pemerintah itu tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja, harus diusulkan terlebih dahulu, terlebih anggaran pemeliharaan untuk itu juga sangat terbatas.
“Tidak dipungkiri memang, jika ada yang perlu diperbaiki dan kami tidak bisa melakukannya dengan segera karena harus diusulkan, terlebih anggarannya tidak ada, sementara hal itu akan menghambat usaha mereka, biasanya kami coba diskusi dengan para pengguna seperti apa solusinya, jika memang mendesak, mereka perbaiki sendiri. Namun yang jelas, tidak semua kegiatan perbaikan, dibebankan kepada para pengguna,” tandasnya. (Tim)
Discussion about this post