INILAHTASIK.COM | LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Kota Tasikmalaya melaporkan terkait adanya dugaan praktek korupsi yang terjadi di salah satu Bank milik Pemerintah yang beralamat di Jalan Otto Iskandardinata Kota Tasikmalaya.
Ketua GMBI, Dede Sukmajaya saat ditemui di sekitar Jl. KH. Zaenal Mustofa, Jum’at (23/11/2018) mengatakan secara tertulis pihaknya sudah membuat laporan ke Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tasikmalaya dan ditembuskan ke Polres Tasikmalaya Kota, Kejari, Kejati, juga Polda Jabar.
“Intinya kami dapat temuan adanya dugaan korupsi yang terjadi di salah satu bank milik pemerintah perwakilan cabang Tasikmalaya ini,” tegasnya. Dede mengungkapkan bahwa Bank tersebut telah mengucurkan dana sebesar Rp 6 miliar ke salah satu debitur.
“Misal si A mengajukan permohonan kredit untuk modal usaha, sementara yang jadi jaminan atau hak tanggungan ke bank atas nama tiga orang. Selain si A sebagai pemohon, juga si B dan C, jaminan itu disetujui oleh si B dan C,” papar Dede mencontohkan.
Berkaitan dengan itu, menurutnya, terdapat keganjilan dalam proses pengajuan dan penawaran karena terjadi di hari yang sama. Kemudian, seolah-olah di acc. Setelah itu, turunlah anggaran tersebut dalam dua tahap. Pertama Rp 4,5 miliar dan tahap kedua Rp 1,5 miliar.
“Anehnya, uang tersebut tidak diberikan kepada si A selaku pemohon, malah diberikan kepada si B. Pertanyaanya, kenapa pihak bank sampai berani mencairkan ke si B yang sudah jelas bukan sebagai pemohon kredit, dan jelas-jelas tidak ada surat kuasa dari si A ke B untuk mencairkan pinjaman itu,” jelasnya.
Sementara dalam perjalannya, meski tidak menerima dana tersebut, si A atau yang bersangkutan justru dibebankan untuk membayar bunga sebesar Rp 1,5 miliar, dari jumlah total jaminan dua sertifikat hak milik (SHM) atas nama tiga orang tersebut, senilai Rp 6 miliar.
Lalu, lanjut Dede, setelah beberapa tahun berjalan akhirnya pihak Perbankan menyatakan kalau kredit tersebut macet. Setelah dinyatakan macet, menurut informasi yang ia dapat, pihak bank sudah melakukan lelang atas jaminannya itu. “ “Dan katanya sudah atas persetujuan pemilik jaminan,” tambah Dede.
Dengan demikian, pihaknya memandang ada prosedur yang tidak dijalankan oleh pihak Perbankan. Seperti contoh keputusan pengadilan berupa rekomendasi atau perintah eksekusi atas jaminan tersebut.
Kesalahan berikutnya, menurut Dede, pihak bank menjual aset atau jaminan di bawah plafon kredit yang dikucurkan yaitu senilai Rp 2,7 miliar, padahal jaminan tersebut nilai jualnya Rp 6 miliar.
Dalam proses ini (lelang jaminan), Dede menduga ada indikasi permainan antara pihak bank dengan pemenang lelang. “Berarti kalau hutang Rp 6 mliar dikurangi Rp 2,7 miliar, masih ada selisih Rp 3,3 miliar. Lalu pertanyaannya, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut, sementara itu kan uang Negara,” ujarnya.
Melihat dari rangkai kronologisnya, sambung ia, pihak Bank diduga telah melakukan kesalahan yakni keganjilan soal waktu penawaran dan pengajuan di hari yang sama, saat itu tertanggal 13 Oktober 2013.
Sedehananya, Dede bilang, ketika ada salah satu nasabah mengajukan pinjaman kredit, biasanya pihak perbankan akan mengirim petugas untuk menilai atau melakukan taksiran terlebih dahulu atas jaminan tersebut. “Katanya itu sudah dijalankan, dan nilai jual atas jaminannya sebesar Rp 6 miliar,” tegasnya lagi.
“Ketika jaminan itu dijual dengan nilai Rp 2,7 miliar, berarti pihak bank rugi. Jika demikian hutang tersebut tidak terbayarkan. Nah, kemudian, siapa yang mau mengganti kerugiannya? Itu uang Negara lho.!,” tandasnya. (Tim)
Discussion about this post